Bunga Merah di Pesta Pemakaman Cinta Aula Emas berkilauan di bawah ratusan lilin, namun sinarnya tak mampu menghangatkan udara dingin yang...

Wajib Baca! Bunga Merah Di Pesta Pemakaman Cinta Wajib Baca! Bunga Merah Di Pesta Pemakaman Cinta

Bunga Merah di Pesta Pemakaman Cinta

Aula Emas berkilauan di bawah ratusan lilin, namun sinarnya tak mampu menghangatkan udara dingin yang menyelimuti perjamuan malam itu. Setiap wajah yang hadir, tersembunyi di balik topeng kesopanan, adalah peta tersembunyi intrik dan ambisi. Kaisar baru saja mangkat, meninggalkan takhta yang siap diperebutkan. Di tengah kerumunan para pejabat dengan tatapan tajam dan bisikan pengkhianatan di balik tirai sutra, berdirilah Putri Mei Hua.

Mei Hua, dengan gaun sutra merah menyala yang kontras dengan warna pucat wajahnya, bagaikan setangkai bunga merah di tengah pesta pemakaman cinta dan kesetiaan. Di sampingnya, berdiri Pangeran Wei, putra mahkota yang diunggulkan. Tatapan mereka bertemu, sebuah percakapan bisu yang hanya mereka pahami. Cinta mereka, terlarang dan berbahaya, adalah api kecil yang berusaha bertahan di tengah badai politik.

"Wei," bisik Mei Hua, suaranya nyaris tak terdengar di tengah gemuruh percakapan. "Kau tahu apa yang akan terjadi."

Wei menggenggam tangannya erat. "Aku akan melindungi mu, Mei Hua. Aku berjanji."

Janji. Kata itu terasa pahit di lidah Mei Hua. Di istana ini, janji hanyalah SENJATA. Wei mencintainya, dia tahu itu. Tapi Wei juga menginginkan takhta. Cinta mereka adalah permainan takhta, di mana setiap senyuman bisa menjadi jebakan, setiap hadiah bisa menjadi racun.

Hari-hari setelah pemakaman dipenuhi dengan intrik dan pengkhianatan. Wei sibuk mengamankan posisinya, sementara Mei Hua terkurung dalam istananya, menjadi pion dalam permainan kekuasaan yang kejam. Ia dipaksa menerima pinangan dari Jenderal Zhao, seorang panglima perang yang haus kekuasaan dan loyalitasnya dibutuhkan Wei.

Pada malam pertunangan, Mei Hua mengenakan gaun putih. Bukan putih kepolosan, namun putih yang melambangkan KEMATIAN. Di rambutnya, terselip setangkai bunga merah, pemberian dari Wei. Ia tahu apa yang harus dilakukan.

Di tengah pesta, saat Jenderal Zhao mengangkat gelas untuk bersulang, Mei Hua tersenyum manis. "Untuk masa depan," ucapnya, lalu meneguk anggurnya.

Beberapa saat kemudian, Jenderal Zhao jatuh ke lantai, kejang-kejang. Racun, cepat dan mematikan.

Wei menatap Mei Hua dengan ngeri. "Kau... apa yang kau lakukan?"

Mei Hua mendekat, senyumnya kini sedingin es. "Aku membalas cintamu, Wei. Kau mengira aku lemah, boneka dalam permainanmu. Tapi aku yang memegang kendali." Ia menunjuk bunga merah di rambutnya. "Racun ini, kau sendiri yang memberikannya padaku, Wei. Untuk 'melindungi' diriku, katamu. Sekarang, lihatlah apa yang kulakukan dengannya."

Saat para penjaga menyerbu masuk, Mei Hua mengangkat dagunya. "Aku bukan lagi Putri Mei Hua. Aku adalah Kaisar Wanita Mei Hua, dan aku akan memerintah dengan tangan besi."

Dia berdiri di atas mayat Jenderal Zhao, bayangan gelap dan elegan, lalu mengumumkan dengan suara lantang, "Kekaisaran ini akan dibangun di atas DARAH dan PENGKHIANATAN!"

Dan dunia pun terdiam, menantikan babak selanjutnya dari sejarah yang baru saja dimulai, di mana kelembutan seorang wanita berubah menjadi bara api yang membakar segalanya.

You Might Also Like: Jualan Kosmetik Bisnis Sampingan

Di dunia yang layarnya retak seperti hatiku, di mana sinyal cinta hilang ditelan algoritma, kutemukan kau – siluet samar di balik filter w...

Kisah Populer: Kau Memakai Cincin Dari Dia, Tapi Hatimu Masih Berdetak Untukku Kisah Populer: Kau Memakai Cincin Dari Dia, Tapi Hatimu Masih Berdetak Untukku

Di dunia yang layarnya retak seperti hatiku, di mana sinyal cinta hilang ditelan algoritma, kutemukan kau – siluet samar di balik filter waktu. Kau, dengan cincin bertahtakan masa lalu di jarimu, tapi matamu adalah mimpiku.

Namamu, bagai password yang kulupa, bergaung di antara notifikasi tengah malam. 'Li Wei', bisik angin, 'Li Wei'. Tapi Li Wei yang mana? Yang tertawa di foto polaroid usang, atau yang menatap layar hologram dengan mata kosong?

Aku, hidup di masa depan yang hancur, mencarimu di antara sisa-sisa kenangan. Chat kita terputus di 'sedang mengetik' – simbol cinta yang tak pernah selesai. Aku mengirimimu pesan dari kapsul waktu, berharap sinyalnya menembus dimensi, menembus dinginnya tahun.

Kau, Li Wei dari masa lalu, menerima pesan aneh dalam bahasa yang belum kau mengerti. Kau melihat bayanganku di genangan air, mendengar suaraku di balik statik radio. Hatimu berdetak LEBIH CEPAT, aneh, tak tertahankan. Cincin di jarimu terasa panas, membakar kulitmu.

Pertemuan kita absurd. Seperti mimpi yang diretas oleh virus. Aku melihatmu melalui portal yang terbuka sesaat di tengah badai debu digital. Kau menjulurkan tanganmu, aku pun sama. Jari kita nyaris bersentuhan, sebelum layar hitam.

Rahasia ganjil terungkap. Kita adalah gema. Residu cinta dari kehidupan yang tak pernah selesai, terperangkap dalam loop waktu. Aku adalah kau di masa depan, kau adalah aku di masa lalu. Cincin itu… cincin itu adalah jangkar yang menahan kita di antara dimensi.

Kita bukan dua jiwa yang berbeda. Kita adalah SATU, terfragmentasi oleh waktu dan teknologi. Cinta kita bukan cerita baru, tapi pengulangan tragis dari cinta yang hilang dan tak pernah ditemukan.

Sebelum dunia benar-benar padam, aku hanya ingin kau tahu… sinyal terakhir…

You Might Also Like: Distributor Kosmetik Passive Income_24

Aku Mati Berkali-kali untuk Cinta Ini, Tapi Cinta Ini Tak Pernah Mati Malam itu ABADI . Angin membentur jendela kertas di paviliun, mencip...

SERU! Aku Mati Berkali-kali Untuk Cinta Ini, Tapi Cinta Ini Tak Pernah Mati SERU! Aku Mati Berkali-kali Untuk Cinta Ini, Tapi Cinta Ini Tak Pernah Mati

Aku Mati Berkali-kali untuk Cinta Ini, Tapi Cinta Ini Tak Pernah Mati

Malam itu ABADI. Angin membentur jendela kertas di paviliun, menciptakan simfoni kematian yang sunyi. Salju pertama turun, mewarnai dunia dengan keputihan yang MENYESAKKAN. Di tengah kesunyian itu, aroma dupa cendana bercampur dengan bau anyir darah yang sudah mengering.

Lian, dengan gaun sutra merah menyala yang kontras dengan salju di luar, berdiri tegak. Di hadapannya, berlutut pria yang pernah menjadi dunianya, Pangeran Zhao. Wajahnya yang tampan kini dipenuhi luka dan noda darah. Matanya, yang dulu memancarkan kehangatan, kini hanya menyisakan ketakutan.

"Lian..." bisiknya, suaranya parau.

"Diam," desis Lian, suaranya sedingin es. "Sudah terlalu banyak kebohongan yang kau ucapkan."

Lian mengingat. Setiap kematian. Setiap siksaan. Setiap pengkhianatan. Ia telah mati berulang kali, di tangan Zhao. Bukan secara fisik, namun hatinya dicabik-cabik setiap kali kepercayaan itu dikhianati. Ia mati dalam cinta yang buta, dalam harapan yang sia-sia, dalam kesetiaan yang dibalas dengan KEJAHATAN.

Dahulu, mereka adalah dua jiwa yang terikat oleh benang merah takdir. Zhao, pangeran yang ambisius dan Lian, putri dari jenderal besar yang setia. Janji cinta di bawah pohon mei yang mekar penuh di musim semi. Janji yang ternyata hanya racun manis.

Namun, di balik senyum manis Zhao, tersembunyi ambisi yang membara. Tahta. Kekuasaan. Ia menikahi Lian bukan karena cinta, melainkan karena kekuatan militernya. Dan ketika kekuatan itu sudah tidak dibutuhkan lagi, Lian menjadi korban. Ia dijebak, dituduh berkhianat, dan dibuang bagai sampah.

Rahasia itu terkuak. Surat-surat rahasia yang membuktikan pengkhianatan Zhao. Kematian ayahnya, yang selama ini dianggap sebagai kecelakaan, ternyata diatur oleh Zhao sendiri. Setiap tetes air mata Lian menjadi bara api dendam yang membakar jiwanya.

"Kau pikir aku akan membiarkanmu lolos?" tanya Lian, matanya berkilat marah. "Kau pikir cinta ini akan memaafkanmu?"

Zhao menggeleng lemah. Ia tahu, ia pantas mendapatkan ini. Ia telah menghancurkan hati Lian berkeping-keping. Ia telah mengkhianati kepercayaan yang diberikan padanya. Ia telah memilih kekuasaan di atas cinta.

Lian mengangkat pedangnya, cahaya bulan menari di bilahnya yang tajam. "Dulu, aku bersumpah setia padamu di bawah pohon mei. Sekarang, aku akan mengambil nyawamu di atas abu janji-janji palsu."

Pedang itu menebas. Darah memercik, mewarnai salju yang putih bersih. Zhao terkapar, matanya memandang langit yang gelap. Lian menatapnya tanpa ekspresi. Dendamnya terbalaskan. Namun, kehampaan yang ditinggalkannya jauh lebih dalam dari luka di hatinya.

Lian berbalik, meninggalkan paviliun yang bersimbah darah. Ia melangkah menuju fajar yang mulai menyingsing, meninggalkan masa lalunya di belakang. Ia telah mati berkali-kali untuk cinta ini. Sekarang, ia terlahir kembali. Lebih kuat. Lebih dingin. Lebih mematikan.

Senyum tipis mengembang di bibirnya. Kemenangan yang hampa.

Di paviliun yang sunyi, aroma dupa cendana tetap menguar, bercampur dengan bau anyir darah dan dinginnya salju. Dan di mata Zhao yang terpejam, masih terpancar ketakutan yang abadi.

Bayangan Lian, menari di atas salju, bisikan terakhirnya terngiang: "Giliranmu yang merasakan, bagaimana rasanya hidup abadi dalam KETAKUTAN."

You Might Also Like: Tutorial Sunscreen Lokal Ringan Cepat

Bayangan yang Tak Pernah Benar-Benar Pergi Hujan gerimis membasahi atap paviliun, menirukan melodi sendu guqin yang mengalun dari dalam. M...

Cerpen Terbaru: Bayangan Yang Tak Pernah Benar-Benar Pergi Cerpen Terbaru: Bayangan Yang Tak Pernah Benar-Benar Pergi

Bayangan yang Tak Pernah Benar-Benar Pergi

Hujan gerimis membasahi atap paviliun, menirukan melodi sendu guqin yang mengalun dari dalam. Mei Hua, dengan gaun cheongsam sutra berwarna nila yang suram, duduk bersimpuh di hadapan meja rendah. Aroma teh oolong yang pahit memenuhi ruangan, sebanding dengan getirnya hatinya. Lima tahun telah berlalu sejak malam itu, malam pengkhianatan yang meremukkan seluruh dunianya.

Lima tahun lalu, ia adalah tunangan dari Pangeran Li Wei, pewaris takhta kerajaan. Mereka saling mencintai, atau setidaknya itulah yang Mei Hua yakini. Kemudian, muncul Lian, wanita yang mempesona dengan senyum manis dan kelicikan tersembunyi. Lian berhasil merebut hati Li Wei, menikam Mei Hua dari belakang dengan racun kepercayaan.

Bukan kemarahan atau balas dendam yang menguasai Mei Hua saat itu. Ia memilih diam. Bukan karena lemah, tapi karena sebuah RA HASIA yang tersimpan rapat di dalam hatinya. Rahasia tentang darah yang mengalir di nadinya, darah keturunan kerajaan yang terlarang. Jika identitasnya terbongkar, seluruh kerajaannya akan terancam perang saudara.

Sejak saat itu, Mei Hua hidup dalam bayangan. Ia menjadi guru kaligrafi di sekolah putri, menjauhkan diri dari hiruk pikuk istana dan intrik politik. Namun, bayangan masa lalu terus menghantuinya. Terutama ketika ia melihat Li Wei dan Lian semakin berkuasa, dan perubahan aneh pada diri Lian yang semakin mencolok.

Lian menjadi semakin haus kekuasaan, paranoid, dan kejam. Ia bahkan menyingkirkan orang-orang yang dianggap mengancam posisinya. Bisikan-bisikan mulai beredar di istana tentang kegilaan sang putri. Mei Hua hanya bisa mengamati dari kejauhan, merasakan cengkeraman dingin di hatinya.

Suatu malam, seorang pelayan istana, dengan wajah pucat pasi dan mata penuh ketakutan, menyelinap ke kediaman Mei Hua. Ia menyerahkan sebuah gulungan surat. Surat itu ditulis dengan tinta merah, berisi pengakuan Lian.

"Aku...aku tidak bisa menahannya lagi," tulis Lian dengan tulisan yang bergetar. "Li Wei...dia diracun! Aku tidak tahu siapa yang melakukannya, tapi aku yakin ada kekuatan gelap yang bermain di balik ini. Aku takut...aku takut mereka akan membunuhku juga."

Mei Hua menggenggam surat itu erat-erat. Ia akhirnya mengerti. Bukan hanya Li Wei yang menjadi target, tapi seluruh kerajaan. Racun itu, racun yang membuat seseorang menjadi gila dan haus darah, racun yang sama yang dulu digunakan untuk menghancurkan keluarganya berabad-abad lalu.

Rahasia yang selama ini ia simpan, rahasia tentang kekuatan khusus yang diwariskan oleh garis keturunannya, kini menjadi kunci untuk menyelamatkan kerajaan. Ia tahu apa yang harus dilakukannya. Ia tidak akan menggunakan pedang atau racun, tapi takdir.

Mei Hua bergerak dalam diam, mengumpulkan bukti, dan menyebarkan informasi. Ia tidak mengungkap identitasnya, tapi ia menggerakkan orang-orang yang masih setia kepada kerajaan, membangkitkan kesadaran mereka akan ancaman yang ada.

Akhirnya, kebenaran terungkap. Terlalu pahit, menyakitkan, dan terlalu mengguncang. Ternyata, Lian bukanlah korban, melainkan pelaku sekaligus korban. Ia diracun oleh kekasih gelapnya, seorang pejabat tinggi istana yang haus kekuasaan dan bekerja untuk musuh kerajaan. Lian menjadi boneka, alat untuk menghancurkan Li Wei dan menguasai takhta.

Li Wei, yang selama ini dibutakan oleh cinta, akhirnya menyadari pengkhianatan Lian dan kekejaman kekasih gelapnya. Ia terpukul, hancur, tapi ia bangkit. Ia mengambil kembali kendali atas kerajaannya dan menghukum para pengkhianat.

Lian, dengan sisa-sisa kewarasannya, memilih mengakhiri hidupnya. Li Wei, yang ditinggalkan sendirian dalam kesedihan, tidak pernah tahu bahwa Mei Hua-lah yang membantunya dari bayang-bayang.

Mei Hua, berdiri di kejauhan saat prosesi pemakaman Lian, memandang Li Wei dengan tatapan penuh kasih sayang dan penyesalan. Cinta mereka telah mati, dikubur dalam intrik dan pengkhianatan. Tapi, ia tahu bahwa ia telah melakukan hal yang benar. Ia telah menyelamatkan kerajaannya, bahkan jika itu berarti mengorbankan kebahagiaannya sendiri.

Kehidupan Li Wei akan kembali tertata, entah dengan perempuan lain, atau seorang diri. Tapi, yang jelas, bayangan Mei Hua akan selalu ada, meskipun ia tak lagi hadir secara fisik. Dan di antara ingatan dan penyesalan, ia menyadari, balas dendamnya memang telah hadir... namun tak dengan kekerasan, melainkan kenyataan yang lebih pahit dari secangkir teh oolong di pagi hari. Takdir telah berbalik arah, membawa keadilan, meski dengan harga yang sangat mahal.

Guqin berhenti mengalun. Hujan mereda. Mei Hua berdiri, meninggalkan paviliun itu. Ia tahu, bayangan yang tak pernah benar-benar pergi, adalah bayangannya sendiri...

... bayangan seorang wanita yang memilih diam demi cinta, demi rahasia, dan demi kerajaan, dan tak seorang pun akan pernah tahu pengorbanan yang sesungguhnya.

You Might Also Like: Supplier Kosmetik Tangan Pertama

Angin malam menghembus dingin di Puncak Gunung Tianmen. Gaun sutra berwarna rembulan yang kupakai terasa tipis menembus kulit. Di hadapanku...

SERU! Aku Mencintaimu Sampai Akhir Dunia, Bahkan Setelah Dunia Berhenti Berputar SERU! Aku Mencintaimu Sampai Akhir Dunia, Bahkan Setelah Dunia Berhenti Berputar

Angin malam menghembus dingin di Puncak Gunung Tianmen. Gaun sutra berwarna rembulan yang kupakai terasa tipis menembus kulit. Di hadapanku, berdiri dia. Li Wei. Lelaki yang kucintai sampai detik ini, lelaki yang mengkhianatiku dengan keji.

"Xiu Lan..." Suaranya serak, diwarnai penyesalan yang terlambat. "Maafkan aku."

Maaf? Kata itu terdengar hambar di telingaku. Kata yang tidak akan pernah bisa mengembalikan tahun-tahun kebahagiaan yang dirampas dariku. Kata yang tidak akan pernah bisa menghapus bayangan Yi Mei, wanita licik yang merebutnya.

"Dulu, aku bersumpah akan mencintaimu sampai akhir dunia," bisikku, suaraku nyaris tak terdengar di tengah gemuruh angin. "Aku bodoh. Aku percaya."

Li Wei mendekat, mencoba meraih tanganku. Aku menghindar. Tatapanku menusuk, sedingin es.

"Aku tahu, Xiu Lan. Aku tahu aku salah. Aku... aku tidak bisa membayangkan hidup tanpamu."

Kebohongan! Kata-kata manis yang dulu membuat hatiku berdebar, kini hanya terasa seperti racun yang menjalar perlahan. Aku tertawa getir. Tawa yang menyimpan luka menganga.

"Kau memilihnya, Li Wei. Kau memilih kekuasaan, kau memilih harta, kau memilih Yi Mei." Setiap kata yang kuucapkan terasa seperti pecahan kaca yang menusuk tenggorokanku. "Lalu, kenapa kau di sini sekarang? Menghantuiku dengan penyesalanmu?"

Dia terdiam. Bulan purnama yang menggantung di atas kepala menjadi saksi bisu perdebatan kami. Cahayanya memantulkan air mata yang mengalir di pipinya. Air mata buaya.

"Aku... aku mencintaimu, Xiu Lan. Aku selalu mencintaimu."

Aku menatapnya. Dalam matanya, aku melihat secercah kebenaran. Ya, mungkin dia mencintaiku. Tapi cintanya kalah telak dengan ambisinya.

"Terlambat, Li Wei. TERLAMBAT." Aku berbalik, memunggungi dirinya.

"Xiu Lan, kumohon... beri aku kesempatan kedua."

Aku menghentikan langkahku. Angin berhembus semakin kencang, seolah alam ikut merasakan gejolak hatiku. Aku tersenyum pahit.

"Kesempatan kedua?" Aku menggeleng pelan. "Dunia ini adil, Li Wei. Kau menuai apa yang kau tabur."

Dan takdir mendengar ucapanku.

Tiba-tiba, tanah bergetar hebat. Gunung Tianmen bergemuruh. Tanah longsor! Aku melihat Li Wei terhuyung, mencoba menyeimbangkan diri. Di belakangnya, tebing runtuh, membawa serta bebatuan besar dan pepohonan tumbang.

Aku hanya berdiri diam, menyaksikan pemandangan mengerikan itu. Tidak ada rasa kasihan. Tidak ada rasa sakit. Hanya kehampaan.

Li Wei menoleh ke arahku. Matanya memancarkan ketakutan yang murni. Dia mencoba berteriak, tapi suaranya tenggelam dalam deru tanah longsor.

Kemudian, semuanya gelap.

Aku masih berdiri di sana, di tepi jurang. Angin terus berhembus, menyapu air mata yang mungkin (atau mungkin tidak) mengalir di pipiku.

Keadilan telah ditegakkan. Tapi... apakah ini benar-benar keadilan?

Dia mencintaiku sampai akhir dunia, dan sekarang… dunia telah berakhir untuknya. Aku mencintainya sampai akhir dunia, dan aku… aku akan hidup untuk melihatnya berhenti berputar, dan memastikan namanya dilupakan.

You Might Also Like: 0895403292432 Skincare Viral Di Tiktok_20

Cinta yang Kubayar Dengan Luka Malam di pegunungan Taihang menggigil. Salju turun tanpa ampun, menutupi segalanya dengan lapisan putih yan...

Cerpen Keren: Cinta Yang Kubayar Dengan Luka Cerpen Keren: Cinta Yang Kubayar Dengan Luka

Cinta yang Kubayar Dengan Luka

Malam di pegunungan Taihang menggigil. Salju turun tanpa ampun, menutupi segalanya dengan lapisan putih yang suci, sekaligus mematikan. Di tengah hamparan itu, berdiri sebuah kuil reyot, diterangi oleh temaram lilin dan aroma dupa yang menyesakkan. Di dalamnya, LIAN, gadis berwajah pucat dengan mata bagai obsidian yang menyimpan badai, menatap sosok yang berlutut di hadapannya.

"Jiang Wei..." desis Lian, suaranya serak, nyaris tak terdengar di tengah deru angin. "Setelah semua ini... setelah semua luka yang kau torehkan, kau berani datang ke sini?"

Jiang Wei, pria dengan wajah pahatan dewa yang kini dihiasi luka, mendongak. Matanya, dulu penuh cinta untuk Lian, kini kelam oleh penyesalan. "Lian... aku tahu, aku telah menghancurkan segalanya. Tapi percayalah, aku..."

Lian tertawa hambar. Tawa yang lebih mirip jeritan tertahan. "Percaya? Kau ingin aku percaya setelah rahasia itu terbongkar? Setelah aku tahu bahwa kematian ayahku... adalah ulahmu?!"

Salju terus berjatuhan. Di pelipis Jiang Wei, darah menetes dan membeku, bercampur dengan salju merah muda. Darah di atas salju. Pemandangan yang mengiris hati, namun Lian tak bergeming.

"Itu bukan keinginanku, Lian! Aku dijebak! Dijebak oleh klan Shen!" Jiang Wei mencoba meraih tangan Lian, namun gadis itu mundur, jijik.

"Klan Shen? Alasan klasik. Kau pikir aku bodoh? Kau pikir aku akan percaya omong kosong itu setelah bertahun-tahun?" Air mata mengalir di pipi Lian, bercampur dengan asap dupa yang pedih. Air mata di antara dupa. Kenangan manis yang kini terasa seperti belati berkarat, menghujam jantungnya tanpa ampun.

"Kau ingat janji kita, Jiang Wei? Janji di bawah pohon Mei saat kita masih kanak-kanak? Janji untuk saling melindungi, sampai akhir hayat?" suara Lian bergetar.

Jiang Wei menunduk. "Aku... aku mengingatnya. Aku telah mengkhianatinya. Maafkan aku, Lian. Hukumlah aku. Aku pantas mendapatkannya."

Lian tersenyum tipis. Senyum yang tidak mencapai matanya. Ia mengambil sebuah kotak kayu kecil dari balik jubahnya. Membukanya. Di dalamnya, terbaring abu. Abu dari dupa yang dibakar saat pernikahan mereka – pernikahan yang tak pernah terjadi, pernikahan yang hancur sebelum sempat dimulai.

"Janji di atas abu. Begitulah seharusnya, bukan?" Lian menuangkan abu itu ke tangan Jiang Wei. Pria itu terdiam, menerima hukuman tak tertulis itu dengan pasrah.

Malam semakin larut. Udara semakin dingin. Lian mengambil sebuah belati perak dari altar. Cahaya lilin menari di atas bilahnya yang tajam. "Aku tidak akan membunuhmu, Jiang Wei. Itu terlalu mudah. Aku akan memberimu sesuatu yang jauh lebih buruk."

Lian berlutut di hadapan Jiang Wei. Ia mengangkat belati itu tinggi-tinggi. Lalu, dengan gerakan secepat kilat, ia memotong urat nadinya sendiri.

Darah menyembur, membasahi salju di sekitar mereka. Jiang Wei terkejut. Ia mencoba menghentikan pendarahan, namun sia-sia. Lian tersenyum lemah, menatap Jiang Wei dengan tatapan yang tak terbaca.

"Sekarang, Jiang Wei... kau akan hidup dengan rasa bersalah ini. Kau akan hidup dengan kenangan tentang aku. Kau akan hidup... dengan cinta yang kubayar dengan luka."

Lian menghembuskan napas terakhirnya di pangkuan Jiang Wei. Pria itu meraung, memeluk jasad Lian erat-erat. Jeritannya menggema di tengah malam yang sunyi, namun tak ada yang menjawab. Hanya salju yang terus berjatuhan, menutupi jejak darah dan air mata.

Di luar kuil, seorang wanita berpakaian serba hitam berdiri di bawah pohon pinus. Wajahnya tertutup kerudung, namun matanya memancarkan kilatan dingin. Ia tersenyum tipis.

Balas dendam yang tenang namun mematikan telah ditunaikan. Balasan dari hati yang terlalu lama menunggu.

Dan seiring dengan terbitnya fajar, hembusan angin membawa bisikan samar: Darahnya telah meresap ke dalam jiwamu, Jiang Wei, dan kau akan selamanya menjadi budak kenangan ini.

You Might Also Like: 0895403292432 Jual Produk Skincare

Episode 1: Lentera di Atas Air Kabut perak menyelimuti Kota Chang'an, bukan kabut biasa, melainkan hembusan napas dari dunia roh. Di...

Kisah Seru: Aku Mencintaimu Seperti Proyek Yang Gagal Diselamatkan Kisah Seru: Aku Mencintaimu Seperti Proyek Yang Gagal Diselamatkan

Episode 1: Lentera di Atas Air

Kabut perak menyelimuti Kota Chang'an, bukan kabut biasa, melainkan hembusan napas dari dunia roh. Di tengah riuhnya pasar malam, mataku terpaku pada lentera-lentera terapung di atas sungai. Cahaya mereka menari, memantulkan mimpi dan harapan, juga… rahasia.

Aku, Lin Mei, seorang arsitek muda yang terobsesi dengan gedung-gedung pencakar langit. Tapi, hidupku yang biasa berakhir tragis. Kecelakaan. Kematian. Atau begitulah yang kuingat.

Aku terbangun di dunia yang asing. Bukan Chang'an yang kukenal, melainkan sebuah kota berkilauan dengan cahaya bulan abadi, Lunargard. Di sini, roh berbisik di antara bayangan, bulan mengingat nama-nama yang terlupakan, dan takdir ditulis ulang setiap malam.

Aku bertemu Xian, seorang penjaga gerbang antara dunia manusia dan dunia roh. Matanya, sekelam obsidian, menyimpan kesedihan yang tak terhingga. Ia membawaku ke kediamannya, sebuah paviliun yang berdiri di atas air terjun kristal.

"Kau adalah reinkarnasi," bisiknya. "Kematianmu di dunia lama bukanlah akhir, melainkan awal dari takdir baru. Takdir yang terjalin dengan dunia roh."

Aku tertawa getir. Takdir? Aku hanya ingin kembali ke kehidupanku, ke proyek-proyek ambisiusku. Tapi, Xian menggeleng. "Takdirmu terikat pada Nafas Naga," katanya, menunjuk ke sebuah artefak kuno yang bersinar lemah di tengah ruangan.

Episode 2: Bayangan yang Berbisik

Aku mulai berlatih mengendalikan energi spiritual. Latihannya keras, melelahkan, tapi di setiap langkah, aku merasakan sesuatu yang aneh. Sebuah koneksi dengan Lunargard, dengan Xian, bahkan dengan… kematianku yang dulu.

Bayangan-bayangan di dinding mulai berbisik. Mereka bercerita tentang konflik abadi antara terang dan gelap, tentang pengkhianatan dan pengorbanan. Salah satu bisikan itu menyebutkan nama Lan Yue, dewi bulan yang dikutuk.

"Kematianmu… bukan kecelakaan," bisik bayangan itu. "Kau adalah kunci untuk membebaskan Lan Yue."

Xian tampak terkejut saat aku menceritakan bisikan itu. Ia berusaha menyembunyikan sesuatu. Aku bisa merasakannya.

Malam itu, aku melihat Xian menyelinap keluar. Aku mengikutinya, hingga tiba di hutan terlarang. Di sana, ia bertemu dengan seorang wanita berjubah hitam, wajahnya tertutup topeng perak.

"Kau tahu dia adalah reinkarnasi, Xian," kata wanita itu, suaranya dingin. "Takdirnya adalah membangkitkan Lan Yue."

"Aku tidak akan membiarkanmu memanfaatkannya," balas Xian.

Episode 3: Bulan yang Mengingat Nama

Pertarungan pecah. Xian melawan wanita berjubah hitam dengan kekuatan magis. Aku merasa lemah dan tak berdaya. Aku hanya bisa menyaksikan.

Wanita itu tertawa. "Kau mencintainya, bukan, Xian? Mencintai proyek yang gagal diselamatkan. Kau tahu dia akan hancur saat membangkitkan Lan Yue."

Aku terkejut. Mencintaiku? Proyek? Apa maksudnya?

Tiba-tiba, kilasan ingatan membanjiriku. Aku melihat diriku yang dulu, di laboratorium yang penuh alat. Aku sedang menciptakan… sesuatu. Sebuah artefak yang bisa menghubungkan dunia manusia dan dunia roh.

"Aku… aku bukan arsitek biasa," gumamku. "Aku… ilmuwan."

Aku ingat. Proyek itu adalah kegagalanku. Artefak itu rusak, dan aku… meninggal. Tapi, sebelum aku meninggal, aku merasakan sentuhan kekuatan dari dunia roh. Xian… dia menyelamatkanku, atau… menggunakanku?

Episode 4: Misteri Terpecahkan

Wanita berjubah hitam membuka topengnya. Itu adalah Lan Yue, dewi bulan. Tapi, matanya penuh kebencian.

"Xian mencintaimu," kata Lan Yue. "Dia percaya kau bisa membangkitkanku, mengembalikan kejayaanku. Tapi, aku tidak ingin dibangkitkan. Aku ingin membalas dendam."

Ternyata, kematianku, reinkarnasiku, semua adalah bagian dari rencana Lan Yue. Ia memanipulasi Xian, memanipulasi takdirku.

Xian terluka parah. Ia menatapku dengan penyesalan. "Maafkan aku, Lin Mei. Aku… aku ingin melindungimu. Aku tidak tahu Lan Yue akan…"

Aku menggenggam tangannya. "Aku tahu, Xian. Kau mencintaiku. Tapi, cintamu adalah proyek yang gagal diselamatkan."

Dengan kekuatan terakhirku, aku menghancurkan Nafas Naga. Energi spiritualnya melonjak, menghancurkan ilusi Lan Yue.

"Kau bodoh!" teriak Lan Yue sebelum menghilang. "Kau akan menyesali ini!"

Xian memelukku erat. "Terima kasih, Lin Mei. Kau menyelamatkan… semuanya."

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi, satu hal yang pasti: kebencian Lan Yue belum berakhir. Aku tahu dia akan kembali.

Penutup

Siapa yang mencintai dan siapa yang memanipulasi takdir? Jawabannya terukir di hatiku, seperti mantra yang berbisik: Takdir adalah cermin, memantulkan siapa yang lebih dulu menatapnya.

You Might Also Like: Reseller Kosmetik Fleksibel Kerja Dari