Janji Itu Tertinggal Di Ruang Tahta, Bersama Bayangan Kita Yang Tak Pernah Pulang
Bulan purnama menggantung seperti kepingan perak di atas Kota Terlarang. Di bawahnya, dua siluet berdiri, nyaris menyatu dalam gelap. Lin Wei, sang putra mahkota dengan tatapan setajam elang, dan Bai Lian, penasihat kepercayaannya, saudara seperguruan, dan sahabat sejati… atau begitulah kelihatannya.
"Lian," suara Wei berat, tercampur hembusan angin malam. "Kau yakin ini jalan yang benar?"
Bai Lian tersenyum tipis, senyum yang tak pernah mencapai matanya. "Bukankah kita sudah membicarakannya, Yang Mulia? Tahta ini milikmu. Dan aku… aku hanya memastikan tak ada duri yang menghalangi."
Mereka tumbuh bersama di paviliun terpencil di kaki Gunung Seribu Awan. Wei diajarkan untuk memerintah, Lian dilatih untuk melindungi. Janji diukir dalam darah: Kesetiaan abadi. Tapi di balik janji itu, tersembunyi rahasia yang lebih gelap dari malam itu sendiri.
Babak demi babak, misteri terkuak seperti lukisan usang yang warnanya mulai mengelupas. Gosip tentang ibu Wei, Kaisar Wanita yang diturunkan dari tahta karena dituduh berkhianat, terus menghantui. Bisikan tentang ramuan terlarang yang bisa mengubah takdir, tentang perjanjian darah yang ditandatangani dalam kegelapan… semua terjalin, mengarah pada satu titik: Bai Lian.
Dialog mereka semakin pedas, seperti permainan pedang dengan kata-kata.
"Kau tahu, Wei," bisik Lian suatu malam, saat mereka berdua berdiri di balkon menghadap istana. "Terlalu banyak orang mati demi impian kaisar. Tidakkah menurutmu… mungkin, impian itu terlalu mahal?"
Wei menoleh, matanya menyala. "Impianku adalah kedamaian bagi rakyatku! Dan kau, Lian? Apa impianmu?"
Lian tertawa, tawa hampa yang menggema di malam yang sunyi. "Impian? Oh, aku punya banyak impian, Wei. Beberapa di antaranya… melibatkanmu."
Kebenaran akhirnya muncul, terungkap dalam duel di Ruang Tahta. Di bawah lampu kristal yang berkilauan, pedang mereka menari, mencerminkan pengkhianatan yang lebih dalam dari luka di tubuh.
"IBUMU tidak bersalah, Wei!" teriak Lian, napasnya tersengal-sengal. "Dia dijebak! Dan aku… aku bersumpah melindungimu dari orang yang melakukan itu… ORANG TUA KITA!"
Ayah Wei dan ibu Lian, terikat dalam perjanjian rahasia untuk menguasai kekaisaran. Kaisar Wanita mengetahui rahasia itu dan akan mengungkapkannya, tapi Lian diminta untuk membungkamnya – dengan imbalan keselamatan Wei. Kesetiaan Lian bukan pada Wei, tapi pada ibunya sendiri, yang dipaksa untuk bersumpah dalam keadaan bahaya.
WEI TERDIAK. Semuanya menjadi jelas. Pengorbanan Lian. Rasa sakitnya. KEBENARANnya yang bengkok.
Balas dendam itu tak terhindarkan. Wei, dengan air mata mengalir di pipinya, menikam Lian.
"Kau… kau telah membuatku menjadi monster, Lian," bisiknya, suaranya pecah.
Lian tersenyum, darah menetes dari mulutnya. "Mungkin... itu memang takdirku. Untuk menjagamu... dari dirimu sendiri..."
Lian jatuh, matanya menatap langit-langit Ruang Tahta.
Di sana, di antara bayangan dan janji yang tak terpenuhi, kesetiaan terakhirnya terucap sebelum keheningan abadi: "Jangan biarkan rahasia ini… membusuk bersamaku."
You Might Also Like: Daves Hot Chicken Brings Heat To
0 Comments: