Bayangan yang Tak Pernah Benar-Benar Pergi
Hujan gerimis membasahi atap paviliun, menirukan melodi sendu guqin yang mengalun dari dalam. Mei Hua, dengan gaun cheongsam sutra berwarna nila yang suram, duduk bersimpuh di hadapan meja rendah. Aroma teh oolong yang pahit memenuhi ruangan, sebanding dengan getirnya hatinya. Lima tahun telah berlalu sejak malam itu, malam pengkhianatan yang meremukkan seluruh dunianya.
Lima tahun lalu, ia adalah tunangan dari Pangeran Li Wei, pewaris takhta kerajaan. Mereka saling mencintai, atau setidaknya itulah yang Mei Hua yakini. Kemudian, muncul Lian, wanita yang mempesona dengan senyum manis dan kelicikan tersembunyi. Lian berhasil merebut hati Li Wei, menikam Mei Hua dari belakang dengan racun kepercayaan.
Bukan kemarahan atau balas dendam yang menguasai Mei Hua saat itu. Ia memilih diam. Bukan karena lemah, tapi karena sebuah RA HASIA yang tersimpan rapat di dalam hatinya. Rahasia tentang darah yang mengalir di nadinya, darah keturunan kerajaan yang terlarang. Jika identitasnya terbongkar, seluruh kerajaannya akan terancam perang saudara.
Sejak saat itu, Mei Hua hidup dalam bayangan. Ia menjadi guru kaligrafi di sekolah putri, menjauhkan diri dari hiruk pikuk istana dan intrik politik. Namun, bayangan masa lalu terus menghantuinya. Terutama ketika ia melihat Li Wei dan Lian semakin berkuasa, dan perubahan aneh pada diri Lian yang semakin mencolok.
Lian menjadi semakin haus kekuasaan, paranoid, dan kejam. Ia bahkan menyingkirkan orang-orang yang dianggap mengancam posisinya. Bisikan-bisikan mulai beredar di istana tentang kegilaan sang putri. Mei Hua hanya bisa mengamati dari kejauhan, merasakan cengkeraman dingin di hatinya.
Suatu malam, seorang pelayan istana, dengan wajah pucat pasi dan mata penuh ketakutan, menyelinap ke kediaman Mei Hua. Ia menyerahkan sebuah gulungan surat. Surat itu ditulis dengan tinta merah, berisi pengakuan Lian.
"Aku...aku tidak bisa menahannya lagi," tulis Lian dengan tulisan yang bergetar. "Li Wei...dia diracun! Aku tidak tahu siapa yang melakukannya, tapi aku yakin ada kekuatan gelap yang bermain di balik ini. Aku takut...aku takut mereka akan membunuhku juga."
Mei Hua menggenggam surat itu erat-erat. Ia akhirnya mengerti. Bukan hanya Li Wei yang menjadi target, tapi seluruh kerajaan. Racun itu, racun yang membuat seseorang menjadi gila dan haus darah, racun yang sama yang dulu digunakan untuk menghancurkan keluarganya berabad-abad lalu.
Rahasia yang selama ini ia simpan, rahasia tentang kekuatan khusus yang diwariskan oleh garis keturunannya, kini menjadi kunci untuk menyelamatkan kerajaan. Ia tahu apa yang harus dilakukannya. Ia tidak akan menggunakan pedang atau racun, tapi takdir.
Mei Hua bergerak dalam diam, mengumpulkan bukti, dan menyebarkan informasi. Ia tidak mengungkap identitasnya, tapi ia menggerakkan orang-orang yang masih setia kepada kerajaan, membangkitkan kesadaran mereka akan ancaman yang ada.
Akhirnya, kebenaran terungkap. Terlalu pahit, menyakitkan, dan terlalu mengguncang. Ternyata, Lian bukanlah korban, melainkan pelaku sekaligus korban. Ia diracun oleh kekasih gelapnya, seorang pejabat tinggi istana yang haus kekuasaan dan bekerja untuk musuh kerajaan. Lian menjadi boneka, alat untuk menghancurkan Li Wei dan menguasai takhta.
Li Wei, yang selama ini dibutakan oleh cinta, akhirnya menyadari pengkhianatan Lian dan kekejaman kekasih gelapnya. Ia terpukul, hancur, tapi ia bangkit. Ia mengambil kembali kendali atas kerajaannya dan menghukum para pengkhianat.
Lian, dengan sisa-sisa kewarasannya, memilih mengakhiri hidupnya. Li Wei, yang ditinggalkan sendirian dalam kesedihan, tidak pernah tahu bahwa Mei Hua-lah yang membantunya dari bayang-bayang.
Mei Hua, berdiri di kejauhan saat prosesi pemakaman Lian, memandang Li Wei dengan tatapan penuh kasih sayang dan penyesalan. Cinta mereka telah mati, dikubur dalam intrik dan pengkhianatan. Tapi, ia tahu bahwa ia telah melakukan hal yang benar. Ia telah menyelamatkan kerajaannya, bahkan jika itu berarti mengorbankan kebahagiaannya sendiri.
Kehidupan Li Wei akan kembali tertata, entah dengan perempuan lain, atau seorang diri. Tapi, yang jelas, bayangan Mei Hua akan selalu ada, meskipun ia tak lagi hadir secara fisik. Dan di antara ingatan dan penyesalan, ia menyadari, balas dendamnya memang telah hadir... namun tak dengan kekerasan, melainkan kenyataan yang lebih pahit dari secangkir teh oolong di pagi hari. Takdir telah berbalik arah, membawa keadilan, meski dengan harga yang sangat mahal.
Guqin berhenti mengalun. Hujan mereda. Mei Hua berdiri, meninggalkan paviliun itu. Ia tahu, bayangan yang tak pernah benar-benar pergi, adalah bayangannya sendiri...
... bayangan seorang wanita yang memilih diam demi cinta, demi rahasia, dan demi kerajaan, dan tak seorang pun akan pernah tahu pengorbanan yang sesungguhnya.
You Might Also Like: Supplier Kosmetik Tangan Pertama
0 Comments: