Angin malam menghembus dingin di Puncak Gunung Tianmen. Gaun sutra berwarna rembulan yang kupakai terasa tipis menembus kulit. Di hadapanku...

SERU! Aku Mencintaimu Sampai Akhir Dunia, Bahkan Setelah Dunia Berhenti Berputar SERU! Aku Mencintaimu Sampai Akhir Dunia, Bahkan Setelah Dunia Berhenti Berputar

SERU! Aku Mencintaimu Sampai Akhir Dunia, Bahkan Setelah Dunia Berhenti Berputar

SERU! Aku Mencintaimu Sampai Akhir Dunia, Bahkan Setelah Dunia Berhenti Berputar

Angin malam menghembus dingin di Puncak Gunung Tianmen. Gaun sutra berwarna rembulan yang kupakai terasa tipis menembus kulit. Di hadapanku, berdiri dia. Li Wei. Lelaki yang kucintai sampai detik ini, lelaki yang mengkhianatiku dengan keji.

"Xiu Lan..." Suaranya serak, diwarnai penyesalan yang terlambat. "Maafkan aku."

Maaf? Kata itu terdengar hambar di telingaku. Kata yang tidak akan pernah bisa mengembalikan tahun-tahun kebahagiaan yang dirampas dariku. Kata yang tidak akan pernah bisa menghapus bayangan Yi Mei, wanita licik yang merebutnya.

"Dulu, aku bersumpah akan mencintaimu sampai akhir dunia," bisikku, suaraku nyaris tak terdengar di tengah gemuruh angin. "Aku bodoh. Aku percaya."

Li Wei mendekat, mencoba meraih tanganku. Aku menghindar. Tatapanku menusuk, sedingin es.

"Aku tahu, Xiu Lan. Aku tahu aku salah. Aku... aku tidak bisa membayangkan hidup tanpamu."

Kebohongan! Kata-kata manis yang dulu membuat hatiku berdebar, kini hanya terasa seperti racun yang menjalar perlahan. Aku tertawa getir. Tawa yang menyimpan luka menganga.

"Kau memilihnya, Li Wei. Kau memilih kekuasaan, kau memilih harta, kau memilih Yi Mei." Setiap kata yang kuucapkan terasa seperti pecahan kaca yang menusuk tenggorokanku. "Lalu, kenapa kau di sini sekarang? Menghantuiku dengan penyesalanmu?"

Dia terdiam. Bulan purnama yang menggantung di atas kepala menjadi saksi bisu perdebatan kami. Cahayanya memantulkan air mata yang mengalir di pipinya. Air mata buaya.

"Aku... aku mencintaimu, Xiu Lan. Aku selalu mencintaimu."

Aku menatapnya. Dalam matanya, aku melihat secercah kebenaran. Ya, mungkin dia mencintaiku. Tapi cintanya kalah telak dengan ambisinya.

"Terlambat, Li Wei. TERLAMBAT." Aku berbalik, memunggungi dirinya.

"Xiu Lan, kumohon... beri aku kesempatan kedua."

Aku menghentikan langkahku. Angin berhembus semakin kencang, seolah alam ikut merasakan gejolak hatiku. Aku tersenyum pahit.

"Kesempatan kedua?" Aku menggeleng pelan. "Dunia ini adil, Li Wei. Kau menuai apa yang kau tabur."

Dan takdir mendengar ucapanku.

Tiba-tiba, tanah bergetar hebat. Gunung Tianmen bergemuruh. Tanah longsor! Aku melihat Li Wei terhuyung, mencoba menyeimbangkan diri. Di belakangnya, tebing runtuh, membawa serta bebatuan besar dan pepohonan tumbang.

Aku hanya berdiri diam, menyaksikan pemandangan mengerikan itu. Tidak ada rasa kasihan. Tidak ada rasa sakit. Hanya kehampaan.

Li Wei menoleh ke arahku. Matanya memancarkan ketakutan yang murni. Dia mencoba berteriak, tapi suaranya tenggelam dalam deru tanah longsor.

Kemudian, semuanya gelap.

Aku masih berdiri di sana, di tepi jurang. Angin terus berhembus, menyapu air mata yang mungkin (atau mungkin tidak) mengalir di pipiku.

Keadilan telah ditegakkan. Tapi... apakah ini benar-benar keadilan?

Dia mencintaiku sampai akhir dunia, dan sekarang… dunia telah berakhir untuknya. Aku mencintainya sampai akhir dunia, dan aku… aku akan hidup untuk melihatnya berhenti berputar, dan memastikan namanya dilupakan.

You Might Also Like: 0895403292432 Skincare Viral Di Tiktok_20

0 Comments: