Cinta yang Kubayar Dengan Luka
Malam di pegunungan Taihang menggigil. Salju turun tanpa ampun, menutupi segalanya dengan lapisan putih yang suci, sekaligus mematikan. Di tengah hamparan itu, berdiri sebuah kuil reyot, diterangi oleh temaram lilin dan aroma dupa yang menyesakkan. Di dalamnya, LIAN, gadis berwajah pucat dengan mata bagai obsidian yang menyimpan badai, menatap sosok yang berlutut di hadapannya.
"Jiang Wei..." desis Lian, suaranya serak, nyaris tak terdengar di tengah deru angin. "Setelah semua ini... setelah semua luka yang kau torehkan, kau berani datang ke sini?"
Jiang Wei, pria dengan wajah pahatan dewa yang kini dihiasi luka, mendongak. Matanya, dulu penuh cinta untuk Lian, kini kelam oleh penyesalan. "Lian... aku tahu, aku telah menghancurkan segalanya. Tapi percayalah, aku..."
Lian tertawa hambar. Tawa yang lebih mirip jeritan tertahan. "Percaya? Kau ingin aku percaya setelah rahasia itu terbongkar? Setelah aku tahu bahwa kematian ayahku... adalah ulahmu?!"
Salju terus berjatuhan. Di pelipis Jiang Wei, darah menetes dan membeku, bercampur dengan salju merah muda. Darah di atas salju. Pemandangan yang mengiris hati, namun Lian tak bergeming.
"Itu bukan keinginanku, Lian! Aku dijebak! Dijebak oleh klan Shen!" Jiang Wei mencoba meraih tangan Lian, namun gadis itu mundur, jijik.
"Klan Shen? Alasan klasik. Kau pikir aku bodoh? Kau pikir aku akan percaya omong kosong itu setelah bertahun-tahun?" Air mata mengalir di pipi Lian, bercampur dengan asap dupa yang pedih. Air mata di antara dupa. Kenangan manis yang kini terasa seperti belati berkarat, menghujam jantungnya tanpa ampun.
"Kau ingat janji kita, Jiang Wei? Janji di bawah pohon Mei saat kita masih kanak-kanak? Janji untuk saling melindungi, sampai akhir hayat?" suara Lian bergetar.
Jiang Wei menunduk. "Aku... aku mengingatnya. Aku telah mengkhianatinya. Maafkan aku, Lian. Hukumlah aku. Aku pantas mendapatkannya."
Lian tersenyum tipis. Senyum yang tidak mencapai matanya. Ia mengambil sebuah kotak kayu kecil dari balik jubahnya. Membukanya. Di dalamnya, terbaring abu. Abu dari dupa yang dibakar saat pernikahan mereka – pernikahan yang tak pernah terjadi, pernikahan yang hancur sebelum sempat dimulai.
"Janji di atas abu. Begitulah seharusnya, bukan?" Lian menuangkan abu itu ke tangan Jiang Wei. Pria itu terdiam, menerima hukuman tak tertulis itu dengan pasrah.
Malam semakin larut. Udara semakin dingin. Lian mengambil sebuah belati perak dari altar. Cahaya lilin menari di atas bilahnya yang tajam. "Aku tidak akan membunuhmu, Jiang Wei. Itu terlalu mudah. Aku akan memberimu sesuatu yang jauh lebih buruk."
Lian berlutut di hadapan Jiang Wei. Ia mengangkat belati itu tinggi-tinggi. Lalu, dengan gerakan secepat kilat, ia memotong urat nadinya sendiri.
Darah menyembur, membasahi salju di sekitar mereka. Jiang Wei terkejut. Ia mencoba menghentikan pendarahan, namun sia-sia. Lian tersenyum lemah, menatap Jiang Wei dengan tatapan yang tak terbaca.
"Sekarang, Jiang Wei... kau akan hidup dengan rasa bersalah ini. Kau akan hidup dengan kenangan tentang aku. Kau akan hidup... dengan cinta yang kubayar dengan luka."
Lian menghembuskan napas terakhirnya di pangkuan Jiang Wei. Pria itu meraung, memeluk jasad Lian erat-erat. Jeritannya menggema di tengah malam yang sunyi, namun tak ada yang menjawab. Hanya salju yang terus berjatuhan, menutupi jejak darah dan air mata.
Di luar kuil, seorang wanita berpakaian serba hitam berdiri di bawah pohon pinus. Wajahnya tertutup kerudung, namun matanya memancarkan kilatan dingin. Ia tersenyum tipis.
Balas dendam yang tenang namun mematikan telah ditunaikan. Balasan dari hati yang terlalu lama menunggu.
Dan seiring dengan terbitnya fajar, hembusan angin membawa bisikan samar: Darahnya telah meresap ke dalam jiwamu, Jiang Wei, dan kau akan selamanya menjadi budak kenangan ini.
You Might Also Like: 0895403292432 Jual Produk Skincare
0 Comments: