Aku Mati Berkali-kali untuk Cinta Ini, Tapi Cinta Ini Tak Pernah Mati
Malam itu ABADI. Angin membentur jendela kertas di paviliun, menciptakan simfoni kematian yang sunyi. Salju pertama turun, mewarnai dunia dengan keputihan yang MENYESAKKAN. Di tengah kesunyian itu, aroma dupa cendana bercampur dengan bau anyir darah yang sudah mengering.
Lian, dengan gaun sutra merah menyala yang kontras dengan salju di luar, berdiri tegak. Di hadapannya, berlutut pria yang pernah menjadi dunianya, Pangeran Zhao. Wajahnya yang tampan kini dipenuhi luka dan noda darah. Matanya, yang dulu memancarkan kehangatan, kini hanya menyisakan ketakutan.
"Lian..." bisiknya, suaranya parau.
"Diam," desis Lian, suaranya sedingin es. "Sudah terlalu banyak kebohongan yang kau ucapkan."
Lian mengingat. Setiap kematian. Setiap siksaan. Setiap pengkhianatan. Ia telah mati berulang kali, di tangan Zhao. Bukan secara fisik, namun hatinya dicabik-cabik setiap kali kepercayaan itu dikhianati. Ia mati dalam cinta yang buta, dalam harapan yang sia-sia, dalam kesetiaan yang dibalas dengan KEJAHATAN.
Dahulu, mereka adalah dua jiwa yang terikat oleh benang merah takdir. Zhao, pangeran yang ambisius dan Lian, putri dari jenderal besar yang setia. Janji cinta di bawah pohon mei yang mekar penuh di musim semi. Janji yang ternyata hanya racun manis.
Namun, di balik senyum manis Zhao, tersembunyi ambisi yang membara. Tahta. Kekuasaan. Ia menikahi Lian bukan karena cinta, melainkan karena kekuatan militernya. Dan ketika kekuatan itu sudah tidak dibutuhkan lagi, Lian menjadi korban. Ia dijebak, dituduh berkhianat, dan dibuang bagai sampah.
Rahasia itu terkuak. Surat-surat rahasia yang membuktikan pengkhianatan Zhao. Kematian ayahnya, yang selama ini dianggap sebagai kecelakaan, ternyata diatur oleh Zhao sendiri. Setiap tetes air mata Lian menjadi bara api dendam yang membakar jiwanya.
"Kau pikir aku akan membiarkanmu lolos?" tanya Lian, matanya berkilat marah. "Kau pikir cinta ini akan memaafkanmu?"
Zhao menggeleng lemah. Ia tahu, ia pantas mendapatkan ini. Ia telah menghancurkan hati Lian berkeping-keping. Ia telah mengkhianati kepercayaan yang diberikan padanya. Ia telah memilih kekuasaan di atas cinta.
Lian mengangkat pedangnya, cahaya bulan menari di bilahnya yang tajam. "Dulu, aku bersumpah setia padamu di bawah pohon mei. Sekarang, aku akan mengambil nyawamu di atas abu janji-janji palsu."
Pedang itu menebas. Darah memercik, mewarnai salju yang putih bersih. Zhao terkapar, matanya memandang langit yang gelap. Lian menatapnya tanpa ekspresi. Dendamnya terbalaskan. Namun, kehampaan yang ditinggalkannya jauh lebih dalam dari luka di hatinya.
Lian berbalik, meninggalkan paviliun yang bersimbah darah. Ia melangkah menuju fajar yang mulai menyingsing, meninggalkan masa lalunya di belakang. Ia telah mati berkali-kali untuk cinta ini. Sekarang, ia terlahir kembali. Lebih kuat. Lebih dingin. Lebih mematikan.
Senyum tipis mengembang di bibirnya. Kemenangan yang hampa.
Di paviliun yang sunyi, aroma dupa cendana tetap menguar, bercampur dengan bau anyir darah dan dinginnya salju. Dan di mata Zhao yang terpejam, masih terpancar ketakutan yang abadi.
Bayangan Lian, menari di atas salju, bisikan terakhirnya terngiang: "Giliranmu yang merasakan, bagaimana rasanya hidup abadi dalam KETAKUTAN."
You Might Also Like: Tutorial Sunscreen Lokal Ringan Cepat
0 Comments: