Senyum yang Memecah Langit Duka Hujan kota membasahi jendela apartemenku, persis seperti air mata yang tak pernah benar-benar jatuh. Di la...

Drama Seru: Senyum Yang Memecah Langit Duka Drama Seru: Senyum Yang Memecah Langit Duka

Drama Seru: Senyum Yang Memecah Langit Duka

Drama Seru: Senyum Yang Memecah Langit Duka

Senyum yang Memecah Langit Duka

Hujan kota membasahi jendela apartemenku, persis seperti air mata yang tak pernah benar-benar jatuh. Di layar ponsel, notifikasi dari grup kerja berkelebat, kontras dengan sisa chat dengan dia yang tak terkirim. Kata-kata itu menggantung di udara maya, sama seperti kenangan tentang tawanya yang masih bergema di sudut-sudut hatiku.

Namanya, Lin Yi.

Kami bertemu di dunia pixel, di antara meme dan opini pedas tentang drama Korea terbaru. Tawanya, secerah wallpaper musim semi di ponselku, adalah oase di tengah gurun kesepianku. Kami berbagi mimpi, cita-cita, bahkan ketakutan tergelap, lewat deretan emoticon dan voice note yang kini hanya menjadi hantu digital.

Lalu, ia menghilang.

Tanpa jejak. Nomornya tak aktif. Akun media sosialnya lenyap. Seolah Lin Yi hanyalah ilusi, glitch dalam matriks kehidupanku.

Aroma kopi yang kubuat setiap pagi terasa hambar. Hujan selalu mengingatkanku pada malam terakhir kami video call. Ia tersenyum, senyum yang menenangkan, di tengah suara gemuruh petir. Ia berjanji akan selalu ada. JANJI.

Aku mencoba melupakannya. Berkencan dengan orang lain. Bekerja lebih keras. Tapi bayangannya selalu ada, seperti watermark tak kasat mata di setiap aspek hidupku.

Kemudian, aku menemukan sebuah file tersembunyi di laptopnya, yang dulu sempat ia pinjamkan padaku. Sebuah video. Lin Yi, bukan lagi gadis ceria yang kukenal, tapi sosok rapuh yang berjuang melawan penyakit mematikan. Ia merekam pesan untukku.

"Maafkan aku, Xiao Zhan. Aku tidak ingin kau melihatku layu. Biarkan kenangan tentangku tetap utuh, seperti senyum yang pernah kuberikan padamu. Jangan mencari, jangan bertanya. Cukup ingat aku..."

Rahasia itu akhirnya terungkap.

Duka cita membungkamku. Amarah membakar hatiku. Bukan karena kepergiannya, tapi karena kebohongan yang ia simpan rapat-rapat. Ia merampas hakku untuk berpamitan.

Waktunya pembalasan. Bukan pembalasan yang berdarah-darah, tapi yang elegan.

Aku menciptakan sebuah aplikasi—sebuah platform bagi orang-orang yang berjuang melawan penyakit kronis, di mana mereka bisa berbagi cerita, mendapatkan dukungan, dan merasa tidak sendirian. Aku menamainya: "Senyum Lin Yi."

Aku memastikan, aplikasi ini akan menjangkau jutaan orang, di seluruh dunia. Aku ingin senyumnya, semangatnya, terus hidup, meskipun ia sendiri telah tiada.

Lalu, aku mengirimkan pesan terakhir ke nomornya yang sudah tidak aktif. Sebuah screenshot dari launching aplikasi itu. Di atasnya, kutulis:

"Ini senyummu, Lin Yi. Abadi."

Aku mematikan ponselku. Meninggalkan semua jejak digital tentangnya. Berdiri di balkon, merasakan tetesan hujan di wajahku. Tersenyum—sebuah senyum dingin dan penuh kemenangan.

Dan kemudian, aku pergi…

Namun pertanyaannya, akankah dia benar-benar tenang di sana?

You Might Also Like: Alasan Sunscreen Mineral Untuk Kulit

0 Comments: