Kenangan yang Menolak Mati di Tengah Bara
Lorong istana Zifeng sunyi senyap, hanya diterangi obor yang menari-nari. Bayangan panjang menari di dinding, menciptakan ilusi hantu-hantu masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi. Angin dingin berdesir, membawa aroma cendana dan… sesuatu yang lebih tajam, lebih metalik. Aroma darah?
Mei Lan, yang dianggap tewas sepuluh tahun lalu dalam pemberontakan berdarah, berdiri di ujung lorong. Jubah hitamnya menyembunyikan sosoknya, menyisakan hanya sepasang mata yang membara, memancarkan tekad yang sama dinginnya dengan lantai marmer.
Di hadapannya, berdiri Kaisar Xuan, kakak laki-lakinya. Wajahnya yang dulu tampan kini dihiasi kerut kecemasan. Di tangannya tergenggam cangkir teh porselen yang bergetar.
"Mei Lan… aku… aku pikir kamu sudah mati," ucapnya, suaranya nyaris berbisik.
Mei Lan tertawa pelan, suara yang membuat bulu kuduk meremang. "Mati? Bagaimana mungkin aku mati, Kakak? Saat keadilan belum ditegakkan?"
"Keadilan? Kau bicara tentang pemberontakan itu? Kau tahu itu adalah VAKSIN untuk takhta." Kaisar Xuan meneguk tehnya, mencoba menenangkan diri.
Mei Lan melangkah mendekat. "Pemberontakan? Atau pembantaian yang diatur dengan rapi? Kau membunuh ibu kami, Kakak. Kau menuduhnya berkhianat untuk menyingkirkan satu-satunya penghalangmu."
Kaisar Xuan terdiam. Matanya menunjukkan ketakutan yang belum pernah dilihat siapa pun.
"Kau pikir aku bodoh? Kau pikir aku tidak tahu kau menyebarkan desas-desus tentang hubungan gelap ibu dengan Jenderal Wei? Kau menabur benih keraguan, dan kemudian menuai badai darah." Mei Lan berhenti tepat di depannya, menatapnya dengan tatapan menghakimi. "Aku membiarkanmu percaya aku mati. Aku menghilang, menyusun rencana, mengumpulkan bukti. Aku telah menunggu saat ini selama sepuluh tahun."
Kaisar Xuan menjatuhkan cangkir tehnya. Pecahan porselen berserakan di lantai, seperti harapan yang hancur berkeping-keping.
"Kau… kau tahu?" bisiknya.
Mei Lan tersenyum tipis. "Aku selalu tahu. Aku hanya menunggu waktu yang tepat untuk membongkar sandiwara ini. Lihatlah sekelilingmu, Kakak. Para penjaga? Mereka setia padaku, bukan padamu. Para menteri? Mereka tahu kebenaran, dan mereka muak dengan kebohonganmu."
Kaisar Xuan menoleh, melihat mata-mata yang dulu setia kini menatapnya dengan dingin. Keheningan lorong istana pecah oleh suara pedang yang dihunus.
Mei Lan mendekat dan membisikkan kata-kata terakhirnya. "Kau berpikir aku korban. Kau keliru, Kakak. Aku-lah yang memainkan peran korban dengan sempurna, sementara kau menari mengikuti irama yang kutentukan."
Kemudian, dengan satu gerakan elegan, dia mencabut pedang tersembunyi di balik jubahnya.
Di tengah keheningan, suara Mei Lan terdengar menggema, penuh penekanan dan rasa pahit. "Dan sekarang, takdirmu telah digenapi."
Karena, sang pelindung ternyata adalah dalang sesungguhnya.
You Might Also Like: 0895403292432 Beli Skincare Terbaik_16
0 Comments: