Hujan menggigil menyayat kulit. Seperti jarum-jarum es, setiap tetesnya menghantam atap gubuk reot, meniru degup jantung yang berpacu keras...

Cerpen Keren: Pedang Yang Menyimpan Jiwa Lama Cerpen Keren: Pedang Yang Menyimpan Jiwa Lama

Cerpen Keren: Pedang Yang Menyimpan Jiwa Lama

Cerpen Keren: Pedang Yang Menyimpan Jiwa Lama

Hujan menggigil menyayat kulit. Seperti jarum-jarum es, setiap tetesnya menghantam atap gubuk reot, meniru degup jantung yang berpacu keras. Di dalam, Mei Lan duduk bersimpuh di depan lentera yang cahayanya tinggal seujung kuku. Bayangannya menari-nari di dinding, PATAH dan terdistorsi, seolah mencerminkan jiwanya.

Dulu, dia adalah seorang putri yang dicintai. Sekarang, dia hanyalah bayangan dari masa lalu, hidup dalam pengasingan di lembah yang terlupakan. Semua itu berkat dia. Han Zhao.

Sosok itu, yang dulunya adalah mataharinya, kini adalah badai yang merenggut segalanya. Han Zhao, kekasihnya, belahan jiwanya, yang memilih takhta di atas cinta. Yang mengkhianatinya demi ambisi dan kekuasaan.

Pintu gubuk berderit terbuka. Han Zhao berdiri di ambang pintu, jubah kebesarannya basah kuyup. Matanya, yang dulu memancarkan kehangatan, kini dingin seperti baja.

"Mei Lan," desisnya, suaranya berat seperti batu. "Aku mencarimu."

Mei Lan mengangkat wajahnya. Wajahnya, yang dulu berseri-seri, kini dipenuhi garis-garis kesedihan dan dendam. "Apa yang kau inginkan, kaisar?"

Han Zhao melangkah masuk. Aroma lumpur dan rumput basah menyelimuti ruangan. "Aku tahu kau membenciku. Tapi aku datang untuk menjelaskan…"

"Penjelasan?" Mei Lan tertawa getir. "Penjelasan apa yang bisa menghapus darah dari tanganku? Darah ayahku? Darah rakyatku? Kau merenggut semuanya!"

Han Zhao terdiam. Bayangan lentera menari di wajahnya, membuat rautnya tampak semakin mengerikan. "Aku melakukan apa yang harus kulakukan. Untuk kebaikan kerajaan."

"Kebaikan kerajaan?" Mei Lan berdiri, matanya menyala-nyala. "KAU HANCURKAN KERAJAAN INI! Kau hancurkan diriku!"

Hujan semakin deras. Suara guntur menggelegar membelah langit.

"Aku tahu kau menyimpannya," kata Han Zhao, matanya tertuju pada peti kayu di sudut ruangan. "Pedang Giok Naga. Pedang yang menyimpan jiwa lama. Pedang yang bisa menghancurkan kekaisaranku."

Mei Lan tersenyum. Senyum yang mengerikan. "Kau benar. Aku menyimpannya. Dan aku akan menggunakannya."

Han Zhao mencabut pedangnya. Kilatan baja memantulkan cahaya lentera yang nyaris padam. "Aku tidak akan membiarkanmu."

Pertarungan dimulai. Di tengah gemuruh badai, dua jiwa yang dulunya saling mencintai kini saling menghancurkan. Pedang beradu, percikan api beterbangan seperti air mata yang jatuh dari langit.

Mei Lan bergerak lincah, gesit seperti kucing. Dia menghindari serangan Han Zhao dengan mudah, seolah dia sudah lama mempersiapkan diri untuk momen ini.

"Kenapa, Mei Lan?" tanya Han Zhao, terengah-engah. "Kenapa kau melakukan ini?"

Mei Lan tertawa. "Kau bertanya kenapa? Setelah semua yang kau lakukan? Kau benar-benar tidak tahu?"

Pertarungan berlanjut hingga senja berubah menjadi malam kelam. Akhirnya, Han Zhao terjatuh. Pedangnya terlepas dari tangannya.

Mei Lan berdiri di atasnya, Pedang Giok Naga terhunus di tangannya. Matanya dingin, tanpa ampun.

"Ini akhirmu, Han Zhao," desisnya.

Han Zhao menatapnya, matanya penuh penyesalan. "Aku… aku mencintaimu, Mei Lan."

Mei Lan terdiam. Sejenak, bayangan masa lalu melintas di benaknya. Bayangan kebahagiaan, cinta, dan harapan.

Namun, bayangan itu segera lenyap, digantikan oleh amarah dan dendam.

"Terlambat," katanya, lalu mengayunkan pedangnya.


Di tengah keheningan yang mencekam, Mei Lan berlutut di depan peti kayu. Dia membuka peti itu dan mengambil sebuah gulungan kuno.

Dia membacanya dengan seksama. Bibirnya bergetar.

"Jadi… selama ini… ternyata bukan dia yang membunuh ayahku. Melainkan…"


You Might Also Like: Reseller Kosmetik Bisnis Sampingan

0 Comments: