Judul: Aku Mencintaimu di Setiap Dunia, dan Selalu Berakhir Sendirian
Kabut kelabu menggantung rendah di lembah Gunung Liang, menyelimuti Kuil Seribu Hantu dalam sunyi yang mencekam. Di dalam, Lorong Panjang yang berhias lentera-lentera redup adalah labirin batu dingin, tempat bisikan angin terdengar seperti ratapan arwah yang tersesat. Di ujung lorong, berdiri seorang pria. Pakaiannya compang-camping, wajahnya pucat pasi, namun matanya—oh, mata itu!—menyorotkan kecerdasan dan kesedihan yang mendalam. Dia adalah Wei Chang, yang lima belas tahun lalu dinyatakan tewas saat ekspedisi ke Tanah Terlarang.
Di hadapannya, berdiri wanita yang pernah dicintainya, Putri Lian, kini permaisuri kekaisaran. Gaun merahnya bagai darah yang menodai kesucian kuil.
"Wei Chang," bisik Lian, suaranya selembut sutra namun tajam bagai pisau. "Kau kembali. Kupikir arwahmu sudah lama menjadi santapan iblis di sana."
Wei Chang tersenyum getir. "Bukan arwahku yang kembali, Permaisuri. Melainkan kebenaran."
Lian tertawa sinis. "Kebenaran? Kebenaran yang mana? Kebenaran bahwa kau pengkhianat? Bahwa kau mencoba mencuri Gulungan Naga dan membahayakan kekaisaran?"
"Kebenaran bahwa kau yang menyuruhku," balas Wei Chang tenang. "Kebenaran bahwa Gulungan Naga itu palsu, jebakan yang kau pasang untuk menyingkirkan para pengikut Kaisar."
Hening. Kabut di luar tampak semakin pekat.
"Kau... bicara omong kosong!" Lian mendesis, namun ada getar yang tak bisa disembunyikannya. "Kau gila! Penjaga! Tangkap dia!"
Penjaga yang sedari tadi bersembunyi di balik pilar-pilar muncul, pedang terhunus. Namun Wei Chang tak bergeming. Dia hanya menatap Lian, matanya dipenuhi kesedihan yang tak terhingga.
"Di setiap kehidupan, di setiap reinkarnasi, aku selalu mencintaimu, Lian," ucapnya lirih. "Dan di setiap kehidupan itu pula, aku berakhir sendirian, dikhianati olehmu. Aku selalu bertanya, mengapa? Mengapa aku selalu menjadi bidak dalam permainanmu?"
Lian menatap Wei Chang dengan pandangan kosong, seolah kata-katanya tak berarti apa-apa. Perlahan, senyum dingin merekah di bibirnya.
"Karena, Wei Chang," bisiknya, suaranya kini terdengar sangat tenang dan menusuk. "Kau adalah kunci. Kunci menuju kekuasaan yang sesungguhnya. Dan aku... aku tidak pernah mencintaimu. Aku hanya mencintai diriku sendiri."
Wei Chang menatap Lian dengan tatapan kosong. Kemudian dia menutup matanya, membiarkan pedang penjaga menembus dadanya. Saat tubuhnya ambruk ke lantai batu yang dingin, dia mendengar suara Lian yang terakhir, sebuah bisikan yang bagaikan desiran angin di tengah malam yang sunyi.
"Selamat tinggal, Wei Chang. Sampai jumpa di kehidupan selanjutnya. Kau akan tetap berguna, walau sudah mati."
Kabut semakin tebal, menyelimuti segalanya. Dan di antara bisikan angin, terngiang sebuah pertanyaan yang tak terjawab: Siapakah sebenarnya iblis di antara mereka?
You Might Also Like: 0895403292432 Jual Skincare Anti
0 Comments: